Ada yang janggal dari wajahmu, tapi aku tak pernah memberitahu. Jejak cambangmu yang kehijauan setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmubening bersemu merah seperti bayi, bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu,dan kacamata itu hadir sedemikian rupa membuatmu seperti anak baru lulussekolah dasar. Kamu tak seharusnya memiliki cambang. Aku yang lebih pantas.Tapi hidup terkadang buta menentukan siapa yang layak dan tidak. Kamu selalumembuatku merasa kurang perempuan. Ada yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku takpernah memberi tahu. Dulu aku menduga kamu banci. Kamu terlalu ramah dan hangatuntuk seorang laki-laki. Berbicara denganmu mengundang sampah hatiku untukmuntah keluar. Sesama perempuan dengan mudah menjadi pencahar rahasia dangelisahku. Tapi tidak pernah laki-laki. Kamu menelanjangiku tanpa penawar rasamalu.

Dan kendati aku ingin menempel padamu seperti benalu,mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali pun belum pernah aku menuaisesuatu. Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan gejolak emosi, membuatkumerasa kurang adab. Kurang manusia. Dari baris-baris kalimatku tadi, akumemilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang tadi dibagikan dansekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan tulisan komputer: Apapendapat Anda tentang Guruji? Lalu terteralah tulisan tanganku: Kurang manusia.Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan komputer: Tidak usah menuliskanidentitas. Seusai pelatihan Emotional Healing yang merupakan sesi terakhirpelatihan sepekan ini, Guruji dan anak buahnya membaca hasil angket tadi, dansesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.

Bisik-bisik dan tatapan tidak terima merajami dari kiri-kanansaat aku berjalan melewati muridmurid senior Guruji. Mereka, yang sudah duluanmenjadi pelatih dan kelak mewarisi padepokan ini. Statusku masih trainee. Dansepertinya akan mentok sampai di situ. Berbeda dengan mereka, Gurujimenyambutku dengan tatapan hangat, bersahabat, penuh kasih. Sebagaimana iamenatapku bulan kemarin, kemarin lusa, atau lima menit yang lalu. ‘Ari. Silakanmasuk. Tolong pintunya ditutup,’ katanya dengan ritme bicara seperti laguninabobo. Anggun, ia melepaskan kacamata minusnya, meletakkannya di meja.Guruji, tidakkah kamu merasa aneh? Nama kita sama. Tapi kamu laki-laki, akuperempuan. ‘Barangkali tujuan kamu baru tercapai kalau diberi kesempatan untukbicara langsung,’ lanjutnya lagi. ‘Bicara tentang apa?’ ‘Tentang saya. Tentangkamu. Tentang kita.’ Nadanya meninggi di ujung-ujung kata, seolah-olah iabertanya. Begitulah caranya memindahkan bola. Membuatku menjadi pihak yangseolah-olah menginginkan pertemuan ini. Refleks aku menoleh lagi ke pintu,memastikannya benar-benar tertutup. ‘Ari Guruj Ari… ini tidak wajar! Untukmemanggilmu saja aku bingung!’ hardikku langsung. ‘Kamu boleh panggil aku apasaja. Aku tidak akan bingung.

Selama hati kamu yang memanggil, aku akan tahu siapa yangdimaksud.’ Refleks berikutnya, tanganku terangkat, menahan banjiran kalimatbijaknya. ‘Stop. Stop! Mari kita sama-sama menjadi Ari yang biasa, oke?”Memangnya ada yang kamu lihat tidak biasa?’ Ingin kucengkeram kerah bajunya,kuguncang-guncang hingga kepalanya membentur-bentur tembok seperti berlatihbola basket, dan kuteriakkan ini: aku kangen. Manusia yang paling kau rindu adadi hadapanmu dan tetap tak kau temukan apa yang kau cari. Tidakkah itu membuatsiapapun ingin gila? Tiga tahun yang lalu aku masih bisa mencengkeram bajunya,kadang kutanggalkan dengan sopan, kadang brutal. Tergantung besaran dan jenisenergi yang hinggap, katanya menganalisa. Dan kami berdua selalu berkomitmenuntuk pasrah dan manut terhadap apapun yang kami rasa. Ari memang bukan manusiastandar.

Aku tahu itu sejak pertama kali kami bertemu, menyebutkannama masing-masing, lalu tertawa berdua. Seketika sorot matanya menangkap sorotmataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah lautan ingatan, dan dia bergumam,’Kita pernah bertemu.’ Waktu itu, aku tidak terlalu paham maksudnya, tapikuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas ucapannya dengan: ‘Apa kabar? Ke manasaja selama ini?’ Kami tidak berpisah sedetik pun sesudah itu, dia bahkanbermalam di rumahku. Ari melihat-lihat dan membolak-balik koleksi bukuku, darimulai teknik melihat aura hingga perjalanan astral. Ia memainkan kartu-kartuTarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot malaikat sampai vampir. Iamemperhatikan dengan saksama bagaimana caraku melipat selimut dan membentangkanseprai di atas sofa untuknya tidur. Lagi, ia bergumam, ‘Kamu nyaris tidakberubah.

Aku benar-benar pulang ke rumah.’ Dan malam itu dia tidakjadi tidur di sofa. Sofa kastanya tamu, dan Ari bukan tamu. Dia penghuni rumah.Dia penghuni hatiku. Hanya saja dibutuhkan seperempat abad untuk ruang danwaktu mewujudkannya. Ari selalu tertarik pada penyembuhan, di bidang itulahpermatanya berkilau gemilang. Tangannya yang lentik dan halus telah mengubahhidup banyak orang. Hanya masalah waktu dia menjadi Ari yang sekarang. SangGuruji. Dia bahkan mengubah namanya dengan bahasa Sansakerta yang tak bisakuingat dan kuucap dengan baik.

Dulu, kami dikenal dengan sebutan Duo Plasenta.Ari-Ari. Yang satu menyembuhkan, yang satu merecoki. Dan mereka, para pemujaAri si penyembuh, yang penampilannya santun-santun dan religius, memandangjengah kadang iri padaku, perempuan aneh bergaya Gypsy yang disayang Ari lebihdari apapun dan siapapun. Kalau jawara Gunung Kawi jimatnya gelang akar bahar,maka jimat Ari adalah aku. Jadi jangan pernah meremehkan penggembira yang satuini, cibirku dalam hati. Hingga tibalah momen yang mereka semua harapkan.Manusia tak ayal berevolusi, dan hidup ini tak pelak mengubah kanal alirannyajika memang sudah waktunya.

Dan Ari melakukan itu dengan tiba-tiba, seketika. Hari ituhari cinta, Valentine’s Day, dan aku dapat order baca Tarot selama dua hari diluar kota. Saat aku pulang, Ari sudah tidak ada. Tak ada satu pun barangnyayang tertinggal, ia mengemas semuanya rapi. Plasentaku, jiwaku yang terbelah,pergi tanpa pesan selain beberapa helai anak rambutnya yang menyisa di bantal.Keterhubungan kami sudah sampai pada level telepatik. Ari selalu percaya akumampu tahu isi hatinya tanpa perlu komunikasi verbal. Ia lupa, mengetahui tidakselalu berarti paham dan sepakat. Aku tak pernah memahami apalagi setuju ataskepergiannya. Dan lantas ia mengharapkanku rela? Let go, let flow, katanya satuhari, saat bertemu tak sengaja di restoran vegetarian langganan kami. Tanpabisa menjelaskan lebih rinci. Saat itu, aku makan sendirian dengan bajuhitam-hitam. Dia ditemani lima belas orang berbaju putih yang semua wajahnyabercahaya akibat rutin meditasi. Inilah misteri yang perlu kujawab, yangmenjadi motor penggerak hidupku setiap hari sejak Ari pergi: apakah kerelaanbisa lahir tanpa adanya perkawinan lebih dulu antara memahami dan menyepakati?Ari berubah menjadi hantu dalam rumahku, hantu dalam hatiku. Semua tentangnyakudapat dari tangan kedua; cerita orang-orang, artikel majalah, carikan suratkabar. Semua tentangnya tiba padaku dalam bentuk rekaman dan bayangan.

Mengikuti pelatihan di padepokannya adalahperjudianku yang terakhir. Upaya maksimalku untuk menjawab teka-teki yang iatinggalkan bersama helaian anak rambut di bantal. Sungguh aku tidak peduli apayang kupelajari seminggu ini. Aku hanya ingin mencari Ari, plasentaku, dalamwujud manusia yang mereka sebut Guruji.

 

Setiap malam dalam sepekanini aku pulang dalam tangis tak terkendali. Ari sepertinya memang sudah tidakada. Manusia kurang manusia bergelar Guruji itu bukan dia. Jadi, haruskahkerelaan ini kulahirkan paksa tanpa adanya benih pemahaman yang lebur bersamakesepakatan? Bagaimana mungkin hidup bisa begitu tidak alamiah? Setiap malamaku mengeluarkan sehelai plastik dari laci meja riasku dan bertanya-tanya,kapankah bisa kulepaskan benda itu ke tempat sampah? Anak rambutnya, yangkukumpulkan dengan pinset dan kusimpan setahun lebih sudah. Bagian nyata dariAri yang kini punah. ‘Apa yang kamu inginkan dari aku, Ari?’ Guruji bertanyalayaknya pada anak yang memelas minta mainan. Aku mencoba bertelepati, danrasanya seperti menabrak dinding. Aku terus mencoba, dan mencoba, hingga matakuberkaca-kaca. Bahkan ketenangannya meluruhkan kemampuanku bicara. Siapa kamu?Siapa kamu? Aku berteriak-teriak dalam hati. Airmata mulai berlinangan dipipiku. Kembali aku menangis tanpa isak, hanya banjiran air yang dipompa matatanpa bisa distop.

Bedanya, kini aku menangis tidak hanya bertemankan plastikberisi rambut, melainkan di hadapan si empunya rambut yang sudah menggundulikepalanya licin seperti biksu. Dia, yang dulu sebulan sekali creambath disalon, kini tak lagi menyentuhkan tangannya untuk bersalaman. Guruji yang sejaktadi menatapku dengan datar mulai mengerdip, beberapa detik ia mengalihkanpandangan ke arah lain. Hatiku seketika melonjak, dan tanpa berpikir kurengkuhwajahnya, kupelototi kedua matanya, ‘Ari? Apakah itu kamu?’ Sesaat kutemukangejolak yang kukenal. Sesaat kutemukan jejak emosi. Sesaat dia kembali menjadicerminku. Namun seperti badai yang reda seketika oleh tongkat ajaib, cepat iakembali tersenyum tipis, dan dengan gerakan tenang terkendali melepaskantanganku yang menangkupi wajahnya. ‘Ari… lepaskan saya seperti sayamelepaskan kamu. Hanya dengan begitu kamu tidak pernah kehilangan saya. Kamutidak pernah kehilangan apapun,’ ucapnya setengah membisik. ‘Aku cuma ingintahu, mana Ari? Apa kabar dia? Ke mana saja selama ini?’ balasku, tersengal.Isak itu mulai menyusul hadir. Tangisku melengkap. ‘Bahkan sedetik yang lalupun kita bukan manusia yang sama,’ jawabnya, tapi mata itu menatap ruang kosongdi balik punggungku. Kami terdiam. Lama.

Hanya isakanku dan embusan napas panjang teraturnya yang menghidupkan ruanganitu. Perlahan kusadari sesuatu, inilah perpisahan yang kucari. Utang karma kamiyang belum lunas. Hantu yang mengejar-ngejarku setahun lebih. Aku hanya inginmengucap selamat tinggal pada belahan jiwaku yang telah menemukan keutuhannyadalam dirinya sendiri. Aku dan rumahku adalah persinggahan yang harus iatempuh, tapi bukan untuk ia miliki. Kakiku pun bergeser, beringsut hendakmeninggalkannya. Misteri ini kuanggap usai. Tak ada lagi detektif pengintai.Kamu bebas, Ari, Guruji, siapapun namamu. Kamu bebas. Namun tangan halus itutiba-tiba menahanku. ‘Kamu punya lima menit untuk melakukan apapun yang kamumau,’ ia berkata. Aku terenyak. Air muka itu… sorot matanya… seperti airbah yang menelanku tiba-tiba. Ari yang kucari ternyata masih ada. Berlindung dibalik topeng Guruji. Atau justru Ari-kah topeng yang barusan dikenakannya lagiagar urusan kami tuntas? Rinduku yang sudah mengerontang bagai Sahara tahu-tahudibalas dengan limpahan air Niagara. Aku betulan tidak siap. Tubuhku terkunci.’Apapun… kamu bisa melakukan apapun….’ bisiknya lagi. Seketika tangankumelayang, mengambil sebuah bantal yang terhampar mengelilingi kami, dan akumulai memukulinya. Bertubi-tubi. Ari tersungkur, tak melawan, tak melindungidiri.

Tanganku terus melayang memukulkan bantal, sekuat tenaga, sekuat segalaperasaan yang tersisa, sekuat hantunya yang bercokol di rumah serta hatiku dansekarang kuusir pergi. Tangan kiriku menyambar satu lagi bantal dan kupuli diadengan kedua tangan. Habis-habisan. Ia terlentang tak berdaya di lantai kayuberalas tikar, pasrah menerima setiap pukulanku. Dan terus kuhujani dia tanpajeda, tanpa ampun, hingga lenganku tiba-tiba berhenti. Tubuhkumengisyaratkan  cukup. Terengah dan tersengal aku bangkit berdiri. Ariperlahan juga bangkit, merapikan kemeja linennya yang kusut bukan kepalang, dania mulai kembali bersila dengan posisi lotus. Pipinya basah. Beberapa butirairmata masih tersembul dari pelupuknya. Badannya gemetar. ‘Guruji,’ akumenunduk dan memberikan salam namaste. Ia membalas dengan gerakan serupa. Lalutangannya membentang, menunjuk pintu, menyilakanku keluar. Pintu membuka.Kulewati mereka yang kini menatapku dengan lebih takjub lagi.

Mataku yang merah sisa menangis, rambutku yang acak-acakan, bajuku kusut masai,tapi ada ketenangan yang tak tertandingi siapa pun sore itu. Tak juga Guruji.Semua ini hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapan saja kita mau.Kumusnahkan kedok kami barusan. Kuhancurkan hingga berkeping-keping. Ari danAri dan Guruji. Dan kini aku kembali menjadi aku, siapapun itu, aku tak tahu.Aku hidup. Aku utuh. Itu saja.